Sunday, February 8, 2015

Kota Sebagai sebuah Novel

Kota merupakan akumulasi kehidupan manusia dari segala sudut pandang yang berbeda-beda. Bahkan dalam sudut pandang sejarah saja kota dapat dipotret dari berbagai segi baik dari segi sejarah politik, sejarah ekonomi, sejarah sosial, ataupun sejarah bangunan. Di berbagai perguruan tinggi, sejarah kota merupakan satu mata kuliah tersendiri. Konsekuensinya sejarah kota merupakan satu sub-disiplin ilmu (andaikata tidak boleh dikatakan disiplin ilmu). Dari sejarah kota ini berkembang berbagai pola-pola yang menghubungkan antara ruang dan kegiatan dalam ruang. Penelitian penelitian sejarah kota, dalam kerangka satu sub-disiplin ilmu terus berkembang baik kota-kota di Asia ataupun di Eropa. Bahkan di Italia, sejarah kota merupakan bagian yang dianalisa  terlebih dahulu sebelum sebuah rancangan bangunan digelar. Para arsitek di Italia membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengerti sejarah sebuah bagian kota sebelum rancangan bangunan dilakukan.  Pembangunan kota yang meninggalkan sejarah seperti melahirkan bayi tanpa nyawa.

Kota memiliki Roh sehingga walaupun sudah mati rohnya tetap menghantui manusia. Kota yang sudah matipun akan terasa rohnya, keangkerannya. Taman sari Yogyakarta misalnya walaupun taman ini telah tiada tetapi rohnya tetap terasa sehingga bagi penduduk Yogyakarta menjadi bagian dari kehidupan spiritualnya. Karena kota sama dengan manusia maka dia harus dibaca seperti kita membaca lapisan-lapisan peristiwa ruang dan kehidupan manusia lapisan tadi bersuperimposisi. Kota dilihat dari sudut sinkronis dan diakronis, sinkronis adalah kedalaman suatu fase pertumbuhan dan diakronis adalah bagai mana kota itu berkembang dan “bergerak” dari masa ke masa.

Sebagai superimposisi berbagai lapisan jaman, kota bisa diibaratkan sebagai novel tebal yang terbagi dalam banyak bagian dan bab yang bergerak kearah beberapa puncak sebuah cerita. Kota juga sebuah teater kehidupan yang nyata dimana selain bangunan sebagai latar sebuah panggung adalah juga para politisi yang mengatur kota sering korup dan menyakitkan. Berbeda dengan desa yang adem ayem, kota merupakan rimba belantara yang penuh dengan kelicikan mulai dari suap menyuap, sampai dengan pelacuran yang sangat terbuka. Dinamika sebuah kota barangkali terletak dari sejauh mana teater tadi berdialog antara satu aktor dengan aktor yang lain. Tetapi jangan lupa kota juga teater yang sepi. Di banyak negara maju, kereta bawah tanah yang penuh sesak ternyata dipenuhi dengan orang yang saling diam tak saling mengenal, kesepian ditengah keterburu-buruan. Dari segi yang beragam dan multi dimensi sebuah kota akan kita soroti. Tentu bukan pekerjaan mudah karena dimensi berarti waktu yang berdialektika. Sedang kota sering mengalami keberhentian waktu karena drama yang ditampilkan kehilangan nyawanya.

No comments:

Post a Comment