Penelitian pertama tentang kelenteng di jaman modern dilakukan oleh Denis Lombart dan Claudine Salmon (Lombart and Salmon, 1985). Mereka mengamati 70 kelenteng di Jakarta dari sudut kehidupan social orang Tionghoa. Dari 70 kelenteng ini, hanya kurang dari 10 buah yang dapat di kategorikan kelenteng yang tua dengan arsitektur yang unik. Hampir semuanya kelenteng baru atau renovasi yang dibangun kurang dari satu abad. Mereka menerbitkan penelitian ini dalam bahasa perancis dengan ringkasan dalam bahasa Inggris. Ringkasan ini kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Yayasan Cipta Loka Caraka. Walaupun penelitiannya berada di Jakarta, penelitian ini mewakili hampir semua kelenteng di Jawa. Karena karya ini konsentrasinya kepada Ilmu Pengetahun Sosial, maka kurang analisa arsitektir yang memang bukan tujuan buku ini. Lombart dan Salmon secara sistematis membagi kelenteng di Jakarta dalam periode sejarah dari abad ke 17 sampai dengan setelah 1945. Mereka sekilas mendiskripsikan tentang arsitektur. Hampir seluruh diskusi tentang ikonografi yang menjadi bagian dari arsitektur. Dari analisa sejarah, studi ini menghadapi kesulitan untuk menilik kelenteng yang dibangun diabad 17 atau sebelumnya. Kebanyakan kelenteng di Jakarta dibangun di jaman ini telah hilang karena turbulensi politik yang membakar seluruh bangunan tanpa bekas. Maka dari itu untuk mengenal kelenteng di abad 17, kita sebaiknyamelihat daerah di pantai Utara Jawa di mana orang Tionghoa bermukim sebelum abad 17. Penelitian ini tidak bias hanya tergantung pada manuskrip yang biasanya tidak lebih tua dari abad 17, harus dipelajari melalui arsitektur komparatif. Kelenteng tertua di Jakarta terletak di ujung Gang Petak Sembilan di daerah Glodok. Kelenteng ini dibangun tahun 1650 diluar tembok kota Batavia dan sedikit-demi sedikit menjadi Kelenteng yang penting (Lombart dan Salmon , 1985: 16).
Disamping menjelaskan hirarkhi ruang dari kelenteng di Jakarta sebagai halaman depan, ruang utama dimana dewa dewi utama diletakkan, ruang samping dan ruang tambahan lainnya, sedikit banyak Lombart dan Salmon mengamati bentuk arsitektur kelenteng. Tetapi, mereka menerangkan bentuk tanpa arti dibaliknya yang penting dalam arsitektur. Walaupun jelas Tionghoa Jakarta terdiri dari beberapa kelompok dialek, kelenteng mereka tidak dapat tidak dapat di golongkan kedalam kelompok dialek mereka. Hanya kelenteng keluarga yang mungkin memiliki dewadewi secara khusus seperti kelenteng Chen dimanadewa Chen Yuan Guang di sembah. Kelenteng keluarga Lin yang dipuja adalah Tian Hou yang merupakan penjaga keluarga. Keduanya merupakan kelenteng tertua di Jawa (Lombart dan Salmon, 1985: 22). Dari periodisasi sejarah para penulis ini tiap periode kelenteng dibangun dibawah pengaruh situasi politik. Di awal abad 20 ketika dinasti Qing mengalami kemunduran diikuti dengan gerakan nasionalis Tiongkok di bawah Sun Yat Sen, orang Tionghoa Jakarta, dan juga di Jawa memilih membangun sekolah dari pada kelenteng. Semakin banyak orang yang mendapat pendidikan barat dan menghindari pemujaan tahyul. Sebagai ganti dari penyembahan tahyul orang Tionghoa lebih memilih memeluk agama Budha dari pada Taoism (Lombard dan Salmon, 1985: 30).
Di jaman kemerdekaan Indonesia, orang Tionghoa menghadapi masalah politik yang sulit. Tetapi ada 20 kelenteng yang dibangun semenjak 1950 (Lombard dan Salmon, 1985: 37). Dari analisa mereka mengklasifikasikan kelenteng menjadi kelenteng umum, kelenteng untuk kelompok orang, temple privat, kelenteng leluhur, dan kelenteng untuk pasar dan perdagangan. Deskripsi terakhir menarik jika dibandingkan dengan kelenteng di Jawa yang terletak dipasar atau ujung pasar seperti kelenteng Kanoman Cirebon, Kelenteng Kranggan Yogyakarta, dan masih banyak lagi.
Lombart dan Salmon dengan menarik menjelaskan pengaruh dewa dan dewi dari Fujian dan Guang Dong terhadap dewa-dewi yang dipujan di Kelenteng Jakarta. Pada bagian ikonografi mereka menerangkan sejarah dewa dan dewi di kelenteng-kelenteng Jakarta dalam hubungannya dengan asalnya di Tiongkok. Ada juga dewa lokal seperti Sampo, Kwe Lak Kwa dan Mbah Jugo. Penulis ini mengungkap perbedaan dewa dan dewi antara kelompok hakka dan hokkien. Akankah perbedaan kelenteng antara kedua kelompok ini?
Tulisan Salmon di tahun 2001 adalah tentang hubungan kelenteng Tionghoa dan sejarah social. Analisanya dengan membandingkan antara kelenteng di Jawa dan Bali merupakan pekerjaan penting dalam merekontruksi sejarah orang Tionghoa. Dia menggunakan kelenteng untuk mengungkap sejarah. Materi sejarah seperti epigrafi di kelenteng adalah obyek sejarah untuk merajut sejarah. Dia menempatkan arsitektur kelententeng sebagai obyek sejarah. Karya penelitian Salmon adalah mencoba mengungkap sejarah lokal di antara orang Tionghoa di Indonesia, dia menghubungkan orang sebagai obyek sejarah dengan tempat tinggalnya. Ini adalah tulisan penting tentang sejarah social orang Tionghoa, tetapi bukan kelenteng sendiri, walaupun inskripsinya dipakai untuk sunber analisa.
Disamping menjelaskan hirarkhi ruang dari kelenteng di Jakarta sebagai halaman depan, ruang utama dimana dewa dewi utama diletakkan, ruang samping dan ruang tambahan lainnya, sedikit banyak Lombart dan Salmon mengamati bentuk arsitektur kelenteng. Tetapi, mereka menerangkan bentuk tanpa arti dibaliknya yang penting dalam arsitektur. Walaupun jelas Tionghoa Jakarta terdiri dari beberapa kelompok dialek, kelenteng mereka tidak dapat tidak dapat di golongkan kedalam kelompok dialek mereka. Hanya kelenteng keluarga yang mungkin memiliki dewadewi secara khusus seperti kelenteng Chen dimanadewa Chen Yuan Guang di sembah. Kelenteng keluarga Lin yang dipuja adalah Tian Hou yang merupakan penjaga keluarga. Keduanya merupakan kelenteng tertua di Jawa (Lombart dan Salmon, 1985: 22). Dari periodisasi sejarah para penulis ini tiap periode kelenteng dibangun dibawah pengaruh situasi politik. Di awal abad 20 ketika dinasti Qing mengalami kemunduran diikuti dengan gerakan nasionalis Tiongkok di bawah Sun Yat Sen, orang Tionghoa Jakarta, dan juga di Jawa memilih membangun sekolah dari pada kelenteng. Semakin banyak orang yang mendapat pendidikan barat dan menghindari pemujaan tahyul. Sebagai ganti dari penyembahan tahyul orang Tionghoa lebih memilih memeluk agama Budha dari pada Taoism (Lombard dan Salmon, 1985: 30).
Di jaman kemerdekaan Indonesia, orang Tionghoa menghadapi masalah politik yang sulit. Tetapi ada 20 kelenteng yang dibangun semenjak 1950 (Lombard dan Salmon, 1985: 37). Dari analisa mereka mengklasifikasikan kelenteng menjadi kelenteng umum, kelenteng untuk kelompok orang, temple privat, kelenteng leluhur, dan kelenteng untuk pasar dan perdagangan. Deskripsi terakhir menarik jika dibandingkan dengan kelenteng di Jawa yang terletak dipasar atau ujung pasar seperti kelenteng Kanoman Cirebon, Kelenteng Kranggan Yogyakarta, dan masih banyak lagi.
Lombart dan Salmon dengan menarik menjelaskan pengaruh dewa dan dewi dari Fujian dan Guang Dong terhadap dewa-dewi yang dipujan di Kelenteng Jakarta. Pada bagian ikonografi mereka menerangkan sejarah dewa dan dewi di kelenteng-kelenteng Jakarta dalam hubungannya dengan asalnya di Tiongkok. Ada juga dewa lokal seperti Sampo, Kwe Lak Kwa dan Mbah Jugo. Penulis ini mengungkap perbedaan dewa dan dewi antara kelompok hakka dan hokkien. Akankah perbedaan kelenteng antara kedua kelompok ini?
Tulisan Salmon di tahun 2001 adalah tentang hubungan kelenteng Tionghoa dan sejarah social. Analisanya dengan membandingkan antara kelenteng di Jawa dan Bali merupakan pekerjaan penting dalam merekontruksi sejarah orang Tionghoa. Dia menggunakan kelenteng untuk mengungkap sejarah. Materi sejarah seperti epigrafi di kelenteng adalah obyek sejarah untuk merajut sejarah. Dia menempatkan arsitektur kelententeng sebagai obyek sejarah. Karya penelitian Salmon adalah mencoba mengungkap sejarah lokal di antara orang Tionghoa di Indonesia, dia menghubungkan orang sebagai obyek sejarah dengan tempat tinggalnya. Ini adalah tulisan penting tentang sejarah social orang Tionghoa, tetapi bukan kelenteng sendiri, walaupun inskripsinya dipakai untuk sunber analisa.
No comments:
Post a Comment