Sunday, February 8, 2015

Tulisan Tentang Kelenteng

Rumah ibadah orang Tionghoa di Indonesia disebut Kelenteng. Kelenteng adalah kata dari Guan Yin Ting atau rumah ibadah Guan Yin (Lombart dan Salmon, 1985: 10).  Menurut Ezerman kata kelenteng dating dari suara lonceng yang datang dari kelenteng ketika ada upacara (Ezerman 1922). Kelenteng is the centre of Chinese community and the centre of Chinese cultural activity. Kelenteng merupakan pusat komunitas dan aktivitas budaya serta keagamaan orang Tionghoa. Ada 70 kelenteng di Jakarta tersebar di semua wilayah, ini memperlihatkan partisipasi orang Tionghoa sebagai bagian penghuni kota.

Tulisan tentang kelenteng di Jawa tersebar di beberapa naskah yang terfokus pada masalah ritual, epigrafi, iconografi dan sejarah komunitas Tionghoa. Tulisan tertua tentang kelenteng dibuat oleh ilmuwan barat I.W.Young dengan judul: Sam Po Tong La Grotte de Sam Po. Artikel ini ditertibkan di jurnal Tung Pao 1890 .

Young mendeskripsikan sejarah Chengho yang didewakan di kelenteng Gedong Batu di Semarang. Dia tidak menceritakan arsitektur kelenteng, tetapi mendeskripsikan manuskrip didalam kelenteng. Menurut Liem Thian Joe, kelenteng ini diperlebar tahun 1724 dengan dibangunnya pavilion (Liem 1933: 20). Kelenteng yang semula adalah gua telah ditutup bangunan. Arsitektur bangunannya berbeda dengan arsitektur kelenteng yang lain. Young tidak menyebutkan pelebaran kelenteng ini. Sekarang semua ini telah tiada karena diubah secara total, bangunan baru dibangun sebagai gantinya.

Adalah Ezerman, yang menulis tentang arsitektur kelenteng Tay Kak Sie di Ceribon, mendeskripsikan detail arsitektur kelenteng dan menariknya dia membandingkan dengan kelenteng di Tiongkok. Dia juga mendeskripsikan lukisan di dinding kelenteng dan inkripsinya. Bagi dia kelenteng Tay Kek Sie memang indah, tetapi kelenteng di Tiongkok lebih indah. Dia tidak menulis arti dibalik ruang dan konfigurasi bentuk dari kelenteng (Ezerman, 1922). Buku yang mengkompilasi kelenteng di jawa dan beberapa di luar Jawa ditulis oleh astrologer Empeh Wong Kam Fu. Karena pada waktu itu, Zaman Orde Baru, kebudayaan Tionghoa kebudayaan Tionghoa dilarang, pernerbit harus minta ijin dari kepolisian. Buku ini tebalnya 365 halaman, tetapi 139 halaman tentang Konfusius dan Budha yang ditulis dalam semangat Ketuhanan yang Maha Esa sesuai dengan Pancasila. Wong mengkoleksi 63 kelenteng dan 32 lithang. Lithang adalah hall bagi pengikut konfusius. Ruangan ini biasanya ditempatkan di bangunan baru yang kurang dari 50 tahun. Tetapi ada juga Lithang di kelenteng tua. Disamping Wong menjelaskan dewa dan dewi kelenteng, dia juga menulis fungsi ruang di dalam kelenteng. Karena Wong menulis banyak kelenteng, dia tiadak menjelaskan kelenteng secara detail.

Ada juga buku yang dipublikasikan tahun 1986 sebagai peringatan ulang tahun kelenteng Tay Kak Sie di Semarang yang ke 240 tahun, dimana ada dewa dan dewi yang biasanya dipuja di Jawa. Buku ini menfokuskan pada kelenteng Tay Kak Sie di Semarang, dan mengutip sejarah permukiman Tionghoa di Semarang dari bukunya Liem Thiam Joe.

No comments:

Post a Comment